Sebelum berserius, sebatduls (sebatang dulu) setelah berbuka dengan yang marxis-marxis bersama dia yang masih saja manis, semoga asap rokok subdisi mau pun non subsidi, keretek mau pun filteran, kluster NGO sampai khas ketengan pentolan-pentolan kampus, tetap menjadi energi penyembuh bagi yg patah, sakit dan luka.
Equity dan Equality gender sudah menjadi topik yang akhir-akhir
ini hilir mudik dibincangkan pada ruang-ruang diskusi mahasiswa, khususnya
perempuan. Feminisme yang awalnya tabu kini sudah mulai menjadi trend bagi
sebagian orang di lingkup kampus atau gerakan mahasiswa. Tentu ini menjadi
kemajuan atas keterbukaan berpikir kelompok student yang tidak lagi membatasi
geliat nalarnya dengan norma atau moralistik kolot yang memundurkan.
Terlepas dari masih banyaknya orang yang menolak trend ini atau
bahkan memilih face to face dengan gerakan ini, gerakan
feminis akan selalu bergentayangan di setiap sudut kota. Perihal
ketidaksepakatan, tentu itu sah-sah saja, dan untuk itu ruang beradu gagasan
yang argumentatif selalu terbuka lebar, bakuhantamkan saja biar rame !
Bicara soal Feminsime, khususnya di Sulawesi Barat, kita harus
mengakui dan tunduk hormat pada mahasiswa Majene yang sudah beberapa langkah
maju mendorong roda gerakan. Munculnya wacana-wacana feminisme di Majene pun
menjadi bukti progresifitas gerakan serta student yang berproses di dalamnya.
Feminisme seringkali dianggap sebagai paketan wacana kiri.
Sebagaimana feminisme, wacana kiri pun masih menari-nari kecil di sudut kampus.
Anggapan bahwa feminisme adalah paketan wacana kiri tentu tidak salah, tetapi
dengan meminjam istilah Onadio Leonardo, saya mau bilang "Kureeng
chinnn". Feminisme itu luas, tidak hanya bicara soal perempuan, tidak
juga hanya melulu fokus pada kasus pelecehan dan atau kekerasan seksual,
feminisme juga jauh bicara soal klas masyarakat, ekonomi politik, filsafat,
teknologi, ekologi, dan masih banyak lagi.
Feminisme tidak hanya dikaji oleh mereka yang mendeklir diri
sebagai Marxian, feminisme juga tidak hanya dibaca oleh kader-kader Juan Garcia
si pembelot atau Chomsky si anak rebel, tetapi feminisme ada di mana-mana, ada
di lintas gerakan dan kelompok, di temui pada seni dan kebudayaan, bahkan ada
dalam ajaran agama. Dari hal ini kemudian bisa kita tegaskan bahwasanya apa
yang sering dipropagandakan oleh kelompok tertentu tentang feminisme yang
dianggapnya wacana yang berseberangan dengan kebudayaan timur serta tidak
mendapat restu dari ajaran agama adalah argumentasi yang selalu siap dihadapi.
Bicara soal feminisme, kita harus akui bahwasanya ada banyak
madzhab yang tidak jarang kontradiktif satu sama lain, begitu pun kelompok
feminis yang juga sudah ada di mana-mana, bersifat komunitas, organisasi,
kelompok arisan atau sekedar kelompok tongkrongan warkop. Kelompok feminis
dengan macam-macam polarisasi gerakannya juga sudah mulai membuat stand-stand
marketnya di seluruh Indonesia, dari yang terbuka sampai yang masih eksklusif.
Tidak jarang juga macam-macam kelompok feminis ini saling berdialektika
satu-sama lain.
Melihat wacana feminisme yang berkembang di Sulawesi barat
khususnya Majene, tentu tidak mengherankan lagi, yang justru harus
dipertanyakan adalah mengapa daerah lain tidak demikian, padahal bahan bacaan
sudah lebih mudah diakses. Untuk hal ini, saya berkesimpulan bahwa konstalasi
gerakan di setiap daerah memiliki kultur dan tradisi gerakan yang khas satu
sama lain, di mana kultur dan tradisi gerakan yang berkembang bisa saja menjadi
sebab penghambat semakin progresif, massif dan kontinyunya sebuah gerakan. Hal
ini menjadi salah-satu tugas mendesak bagi kelompok-kelompok feminis atau
mereka yang sadar untuk menjembatani wacana tersebut dari majene ke daerah
lain, dari kampus satu ke kampus yang lain, hingga sampai pada masa di mana
nyanyi-nyanyian anti patriarki menggema di akar rumput.
ROKOK DAN PEREMPUAN
Budaya patriarki telah menjadi tirani bagi perempuan-perempuan di
Indonesia, dari budaya yang berporos kemaskulinan ini pula melahirkan standar
sosial yang tentu diskriminatif terhadap perempuan. Tidak bisa dipungkiri
budaya patriarki yang sudah sampai ke dapur rumah tangga kita pun melahirkan
banyak norma dan moralistik kolot yang tentu lagi-lagi diskriminatif terhadap
perempuan sebagai pihak sub-ordinat dalam tatanan.
Tradisi dan budaya keseharian yang sangat patriarkal ini pun
seolah menjadi rantai besi yang mengikat kencang gerak gerik dan laku
perempuan, sedikit saja tidak sejalan dengan apa yang menjadi aturan publik,
perempuan langsung diserang dari yang hanya cemooh dalam pikiran sampai pada
hal-hal yang bisa merusak reputasi ; jalang, perempuan tidak baik-baik, dan
masih banyak lagi sering kali menjadi serangan telak sebagai bentuk
penghakiman, jangankan untuk membela diri, ruang untuk menjelaskan alasan di
balik apa yang mereka lakukan pun tak pernah diberi.
Bicara soal perempuan dan rokok, di tanah jawa mungkin hal ini
tidak lagi menjadi fenomena yang baru terlihat, berbeda dengan di Sulawesi
khususnya di Sulawesi barat, di mana fenomena ini masih tabu dan seolah menjadi
sesuatu yang keliru. Tentu hal demikian bukan berarti tidak beralasan, sekali
lagi norma dan moralistik yang berlaku menjadi salah-satu pengikatnya.
Mungkin bagi perempuan yang sadar kondisi atau mereka yang aktif
di lingkar-lingkar feminis telah khatam buku “Perempuan Berbicara Kretek”. Buku
yang ditulis oleh 21 penulis perempuan itu berusaha melawan ketidakberdayaan
perempuan atas diskriminasi yang dilahirkan budaya patriarki. Mereka berusaha
menegaskan bahwasanya benda yang berisi cacahan tembakau kering itu menjadi hak
semua gender dan jenis kelamin dan tentu berusaha melabrak dikotomi
kemaskulinan yang selama ini melekat pada rokok atau kretek. Selain itu, tugas
berat dan besar berusaha ditegaskan pula bahwa ada stigmatisasi yang harus
diperangi salah-satunya ialah perempuan yang merokok berarti menghilangkan
keindahan dan keanggunannya dan sudah pasti mereka (yang merokok) bukan
perempuan baik-baik.
Ada
banyak barometer yang entah itu lahir dari aturan agama, sosial masyarakat atau
bahkan regulasi dan kebijakan negara untuk mengukur seseorang bisa dianggap
baik-baik atau sebaliknya, yang bagi saya terkadang mendiskreditkan salah-satu
kelompok atau gender tertentu, salah-satunya jika berbicara soal rokok yang
bahkan tidak berjenis kelamin itu.
Narasi untuk melakukan pemakluman terhadap perokok laki-laki dan
sebaliknya mencerca habis-habisan perokok perempuan ialah bagian dari sisa
propaganda orde baru sebagai salah-satu siasat politik guna melumpuhkan
pengaruh dari gerakan-gerakan perempuan era itu, salah-satunya Gerwani.
Setidaknya tulisan “Mak Pik si pengkretek” dalam buku yang sama cukup bisa
menjelaskan itu.
Terakhir, rokok adalah budaya, bagian dari sejarah kebangsaan yang
tidak bisa dilekatkan pada satu poros gender tertentu. Terlepas dari bagaimana
pun propaganda “rokok membunuhmu” berjalan massif atau cukai rokok yang tiap
tahun meningkat membuat kita semua berpotensi terancam Kanker (kantong kering),
rokok tetap berhak dinikmati oleh siapa pun, di mana pun dan dengan sajian apa
pun, misal secangkir kopi hitam, sepiring pisang goreng dan rintik hujan di
sore hari.
ROKOK DAN PERLAWANAN
Bersambung, capekka menulis cika’....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar