Perjalanan panjang telah dilalui Rancangan Undang undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk segera direalisasikan sebagaimana urgensinya dan mandat yang dibawahnya yakni penghapusan kekerasan seksual yang justru makin bertambah kian waktu.
Kita
tidak bisa menafikkan bahwa kasus kekerasan seksual (yang tidak hanya dialami
oleh perempuan dan anak) menjadi salah-satu masalah serius yang belum mampu
diatasi bahkan terkesan enggan untuk memasukkannya dalam prioritas penyelesaian
masalah bangsa. Bukan hal yang tidak mendasar jika menyatakan demikian,
dikeluarkannya RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020
menjadi salah-satu bukti ketidakseriusan negara dalam menyelesaikan persoalan
kekerasan seksual.
Tidak
hanya itu, opini yang berdasar misinterpretasi atas naskah akademik (NA RUU
PKS) banyak berseliweran yang menghasilkan pro-kontra di masyarakat. Padahal
kita tahu bahwa RUU ini lahir atas dasar kemendesakan dan kebutuhan rakyat
Indonesia, di mana ancaman kekerasan seksual makin meninggi yang sekali lagi
tidak hanya terjadi pada perempuan dan anak, melainkan juga laki-laki.
RIWAYAT
| Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah melalui
perjalanan Panjang, terjal dan berbatu. Sejak tahun 2012 Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) berusaha membujuk DPR RI untuk
memasukkannya dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Baru kemudian tahun
2016 Naskah Akademik RUU PKS diminta oleh DPR RI. Pada tahun yang sama DPR
menyerahkan darft RUU PKS ke pemerintah dengan jumlah 50 pasal padahal draft
yang diserahkan oleh Komnas Perempuan berjumlah 152 pasal, artinya terjadi
pemangkasan hingga sepertiga isian dari draft tersenut. Tahun 2014-2019 RUU PKS
menjadi salah-satu RUU yang dikebut pengerjaannya namun akhirnya berhenti atas
pro-kontra di lingkup DPR dengan alasan sarat dengan ketimpangan seksual (dalam
perspektif mereka) seperti homoseksual dll serta alasan-alasan lain yang tidak
berdasar. Padahal alarm darurat kekerasan seksual telah lama berbunyi, komnas
perempuan mencatat tahun 2017 ada 392.610
kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu bertambah 16,5 persen di tahun
2018 menjadi 406.178. Lalu semakin naik di 2019 hingga mencapai 431.471 kasus.
RUU
PKS sempat dijanjikan untuk disahkan sebelum pergantian periode, yang saat itu
disampaikan oleh Bambang Soesatyo. Namun sampai akhirnya berganti periode pun
tidak juga disahkan, bahkan saat rapat evaluasi Prolegnas 2020 oleh Baleg DPR
RI, RUU PKS dicabut dari prolegnas 2020 yang pada saat itu disampaikan oleh
Marwan Dasopang selaku ketua komisi VIII dengan alasan pembahasan yang sulit.
Sampai saat ini RUU PKS masih menjadi draft yang terkatung-katung, hanya
membuahkan janji-janji pengesahan belaka dari legislasi.
STOP
KEKERASAN SEKSUAL | dalam situasi pandemi Covid 19 saat ini ternyata kasus
kekerasan seksual masih terus saja bertambah, berdasar pada Catatan Tahunan
(Catahu) Komnas Perempuan 2020 menunjukkan
pelaporan kasus kekerasan seksual di tahun 2019 mencapai 4.898 kasus kekerasan
seksual. Pada Bulan Januari hingga Mei 2020, terdapat 542 kasus kekerasan
terhadap perempuan di ranah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Relasi Personal
di mana 24% (170 kasus) adalah kasus kekerasan seksual. Sementara pada
ranah komunitas jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan
mencapai 226 kasus dan 89% dari total kasus atau 203 kasus
adalah kasus kekerasan seksual.
Di kedua ranah tersebut kekerasan
seksual yang paling banyak diadukan adalah kasus Kekerasan Berbasis Gender
Siber (KBGS) baik yang dilakukan oleh mantan pacar, pacar, bahkan orang yang
tidak dikenal dengan berbagai macam bentuk kekerasan, diantaranya ancaman
penyebaran foto dan video bernuansa seksual, mengirimkan atau mempertontonkan video
bernuansa seksual,eksibisionis, hingga eksploitasi seksual.
Persoalan di tingkat substansi dari hukum pidana,
struktur dan kultur hukum dianggap sebab yang seolah menghalangi korban
kekerasan seksual, terutama perempuan, untuk memperoleh keadilan dan
mendapatkan dukungan penuh untuk pemulihan. dari 13.611 kasus perkosaan yang
dilaporkan dalam kurun 2016-2019, jumlah laporan kasus perkosaan
di kepolisian hanya sekitar 29% dari yang diterima oleh lembaga layanan
ditingkat pertama. Sekitar 70% dari kasus yang dilaporkan kepolisian diputus oleh pengadilan,
atau sekitar 22% dari jumlah total kasus yang
diterimalembagalayanan. Konteks-konteks khusus dari latar belakang korban,
seperti disabilitas, lokasi geografis, maupun ragam kekerasan yang tidak
memiliki payung hukum menyebabkan halangan-halangan tersebut semakin nyata.
Belum lagi soal sanksi sosial, stigma atau
prasangka buruk terhadap dirinya sebagai korban kekerasan seksual membuatnya
enggan untuk mengadu, melaporkan atau membela diri. Bahkan karena
ketidakberdayaan itu kemudian mengalami kekerasan seksual yang berulang kali
(reproduksi kekerasan) yang pada akhirnya tidak sedikit korban yang mengalami
gangguan kejiwaan, traumatis mendalam, bunuh diri atau bahkan dibunuh.
Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja,
kapan saja dan bahkan kepada siapa saja, perempuan, anak bahkan laki-laki.
Kekerasan seksual tidak melihat status, Pendidikan, ras, agama, dan daerah.
Kita semua beresiko menjadi korban kekerasan seksual, entah itu kekeresan
verbal atau pun fisik, pun kita juga berpotensi menjadi pelaku atas kekerasan
seksual tentu jika tidak dibarengi dengan kampanye anti kekerasan seksual yang
massif serta penguatan substansi dan struktur hukumnya.
Kekerasan seksual terjadi pada perempuan bukan
karena cara berpakaiannya, bukan juga karena kurangnya pelajaran etika dan
moral di Lembaga Pendidikan, melainkan tidak kuatnya atau bahkan tidak adanya
paying hukum yang mampu melindungi korban dan menjerat pelaku dengan tegas.
Sumber data :
Komnas Perempuan
Portal web CNN
Cat: Tulisan
ini adalah selebaran resmi aliansi PPB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar